Senin, 06 April 2015

DAMPAK RESTU YANG TAK KUNJUNG DATANG


Aku pernah mengenal seorang wanita dan menjalin hubungan cukup lama dengannya, dan aku mengasihi dia melebihi diriku sendiri. Rangkaian kasih yang aku bangun bersama dia, tak pernah mendapat restu dari kedua orang tuanya. Hal itu aku ketahui dari sikap kedua orang tuanya, yang selalu berusaha untuk menyudahi hubungan itu. Namun demikian, sekalipun mendapat hambatan dari kedua orang tuanya, aku dan dia terus membangun hubungan walau dengan cara sembunyi-sembunyi.

Cukup lama hubungan itu berlangsung secara rahasia. Tetapi semakin lama aku berpikir juga, dan mulai mempertanyakan hubungan yang sedang kami jalani. Tidak baik, jika hubungan itu terus berlangsung dengan sembunyi-sembunyi, toh kelak jika hubungan itu akan diakhiri pada tingkat pernikahan, restu dari orang tua harus diperoleh.

Berangkat dari pemikiran itu dan untuk kebaikan masa depan, kami berdua sepakat untuk mengakhiri status yang mengikat kami, dan memutuskan untuk tidak berpacaran lagi. Keputusan itu kami tetapkan, setelah melalui berbagai pertimbangan. Disamping restu dari orang tua yang tak kunjung didapat, masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab, sehingga keputusan itu harus diambil. 

Berat memang ketika kami dihadapkan pada situasi itu. Memutuskan untuk tidak berpacaran lagi, memang menjadi pilihan yang sangat sulit bagi kami berdua, karena banyak hal yang membuat keputusan itu sangat sulit untuk kami jadikan sebagai kesimpulan. Walau berat, mau tidak mau keputusan itu harus diambil, karena tidak ada alasan lagi, untuk terus berpacaran dengan cara sembunyi-sembunyi.

Keputusan yang kami ambil, semakin menguat mengingat kerasnya prinsip dan konsep hidup kedua orang tuanya, yang menghendaki hubungan kami tidak boleh dilanjutkan, dan mengingat kami berdua berasal dari status sosial dan latar belakang yang berbeda. Keputusanku semakin mantap, ketika para sahabat turut andil dalam permasalahan yang sedang menimpa hubungan kami. Para sahabat mendukung penuh keputusan yang kami ambil, karena memang akan jauh lebih baik untuk tidak berpacaran lagi, daripada harus melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Beberapa waktu pasca keputusan itu, aku dihadapkan pada situasi yang lebih sulit lagi. Berhenti berpacaran ternyata bukanlah hal yang mudah bagiku. Hatiku semakin gundah setelah itu, dan pikirankupun melayang kemana-mana. Situasi itu mulai membuatku mempertanyakan keputusan yang sudah kami ambil dan mulai menggoda hatiku, apakah aku harus menyesal atau sebaliknya harus bersyukur dengan keputusan yang kami ambil.

Tetapi saran dan masukan dari sahabat dan keluarga menjadi kekuatan bagiku, kemudian membuatku semakin mantap pada keputusan itu. Lalu dengan mengesampingkan restu dari kedua orang tuanya, kamipun akhirnya "mangalua" alias kawin lari. Hal itu kami lakukan, dalam upaya untuk menghindari segala kemungkinan yang akan terjadi, sebagai reaksi dari keputusan kami. Kemudian aku dan dia menikah di kampung halamanku di Siborong-borong, dengan meminta bantuan kakekku  untuk mendukung niat kami.

Sungguh kami tidak berkeinginan mengambil keputusan seperti itu. Tetapi keputusan itu terpaksa kami ambil, karena kami tidak mau lagi menjalin hubungan dengan cara sembunyi-sembunyi. Siapapun pasti akan lelah, jika dihadapkan dengan situasi seperti yang kami alami. Rasa cinta satu sama lain, jauh lebih kuat dari prinsip dan kosnsep hidup kedua orang tuanya, dan bahkan akan mengalahkan kekuatan apapun, yang berusaha untuk memisahkan rangkaian kasih yang sudah kami bangun sejak lama.

UNTUK SEMUA PIHAK, YANG KEMUDIAN MERASA DIRUGIKAN ATAS TINDAKAN KAMI, KAMI MOHON MAAF .. !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar