Perkawinan dua insan berbeda, laki-laki dan
perempuan adalah satu kebutuhan bagi kelangsungan hidup manusia. Walau pada
kenyataannya, tidak sedikit manusia menjalani hidup dalam kesendirian sepanjang
masa, tanpa sebuah perkawinan. Mereka yang memutuskan untuk hidup
berpasangan, sudah pasti menginginkan perkawinan mereka berjalan dengan baik,
berproses menuju hari tua bersama cinta kasih, dan berakhir pula dalam
kebahagiaan.
Tetapi tak semua pasangan yang dikawinkan
dalam janji ikatan pernikahan berjalan dengan mulus. Hampir semua pasangan yang
disatukan dalam sebuah pernikahan mengalami cobaan. Mereka dihadapkan pada
berbagai masalah, yang berusaha menggoyang untuk menghancurkan perkawinan itu,
berkali-kali dan terus menerus. Sebahagian perkawinan itu selamat sampai
tujuan, sementara sebagian lainnya harus berakhir dengan kepedihan, meratapi
perkawinan yang tumbang diterjang badai, jatuh berantakan lalu hancur
berserakan.
Lanie ... demikian nama seorang wanita
tangguh, yang mengharapkan perkawinan dengan suaminya selalu dalam kebahagiaan,
ternyata keluar dari cita-cita awal. Tiga bulan setelah ikatan perkawinan
diresmikan, wanita ini telah mengalami tekanan luar biasa dari sang suami yang
dia cinta sepenuh hati. Tiga puluh tahun usia perkawinan mereka, hampir
setiap hari, ia di caci-maki, ditampar, dipukul, bahkan ditendang oleh
suaminya. Semua peristiwa itu ia terima dalam ketabahan.
Tak terhitung saran, perintah bahkan cemoohan
dia terima dari saudara, sahabat bahkan dari orang yang sama
sekali tak dia kenal, meminta Lanie untuk meninggalkan
suaminya. Semua itu dia tepis, dengan tidak menjawab semua
perkataan-perkataan bernada seperti itu. Dia tetap pada pendirian, berpegang
teguh pada janji perkawinan, “SETIA DALAM SUKA MAUPUN DUKA, TAK BERCERAI
KECUALI MAUT YANG MEMISAHKAN”. Luar biasa.
Penderitaan Lanie, yang dia alami hampir
disepanjang usia perkawinannya, ia bebaskan hanya dengan seuntai do’a ; “Aku
tahu Tuhan, Engkau merestui pilihanku karena Engkau tahu aku kuat dengan semua
perlakuan suamiku”. Hanya dengan seuntai do’a itu, Lanie menjalani hidup
perkawinannya selama tiga puluh tahun. Selama itu pula, Lanie mengalami siksa
yang luar biasa, dari suami yang dia cinta dengan segenap jiwa dan raga.
Derita Lanie tidak berhenti sebatas tindakan
physik yang telah dilakukan suaminya. Selama lima tahun, dia dihadapkan kepada
derita baru, melayani suami yang hidup dalam ketidak berdayaan. Stroke total,
mengharuskan suaminya hidup terbujur kaku sepanjang masa di tempat
tidur. Selama lima tahun pula, suaminya hanya mampu berkomunikasi dengan
Lanie, melalui desah nafas dan linangan air mata saja. Tampaknya suami Lanie
menyesali semua perbuatan yang telah dia lakukan terhadap istrinya yang luar
biasa tangguh itu. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Waktu tiada mungkin kembali
lagi.
Ditahun ketiga puluh, penderitaan Lanie atas
perkawinannya dengan seorang pria tak bernurani, kemudian berhenti. Di usia
lima puluh dua tahun, suami yang dia cinta, akhirnya pergi untuk selamanya
akibat stroke total, yang diderita suaminya selama lima tahun. Lanie
melepas kepergian suaminya dengan linangan air mata, pertanda cinta yang luar
biasa. Lanie sungguh mengabdi pada suaminya dengan memberikan pelayanan penuh
tanpa batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar